Hadits mulia ini menghimpun dua pesan penting, yang dengannya seorang hamba dapat meraih kecintaan Allah Ta’ala dan kecintaan manusia.
Pesan pertama, adalah sikap zuhud terhadap kehidupan dunia. Sikap zuhud berarti meninggalkan rasa ketertarikan akan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Sekalipun beberapa bentuk kesenangan itu sebenarnya tidak dilarang dalam syari’at. Namun bagi seorang hamba yang hendak menjalani kehidupan dengan sikap zuhud, biasanya ia akan menjauhkan dirinya dari kesenangan-kesenangan semacam itu.
Adapun sebab turunnya kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang memandang dunia dengan kezuhudan adalah karena kecintaan Allah Ta’ala tidak akan bercampur dengan kecintaan dunia. Maka siapa saja yang meninggalkan kecintaan terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintainya.
Di dalam sejumlah ayat Al Qur’an Allah telah berulangkali mengingatkan bahwa dunia ini tidak lebih dari sekadar barang dagangan yang murah, dunia tidak lain hanyalah kelalaian dan perhiasan sementara, bahkan dunia adalah cobaan. Dan begitu pula yang tercantum di dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Bahwasanya suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berjalan di pasar bersama para shahabatnya, lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang terpotong telinganya, maka beliau memungut telinga kambing itu seraya bersabda kepada para shahabatnya, “Adakah di antara kalian yang mau membeli telinga kambing ini seharga satu dirham?” Para shahabat lalu serentak berkata, “Kami semua tidak menginginkannya ya Rasulullah...” Maka beliaupun melanjutkan sabdanya, “Sesungguhnya, dunia ini di sisi Allah jauh lebih hina dibanding sepotong telinga kambing ini di mata kalian”.
Disebutkan pula dalam hadits yang diriwayatkan Al Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Perumpamaan kehidupan dunia ini di hadapan kehidupan akhirat adalah seumpama salah satu dari kalian yang mencelupkan ujung jarinya ke dalam air laut lalu ia menariknya kembali. Maka cobalah ia melihat (air) yang ia ambil (dengan jarinya itu).”
Dan inilah nabi kita, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang hidup dan berprilaku dengan penuh kesederhanaan, sehingga zuhud menjadi sebuah sifat yang amat dianjurkan. Selain itu, kesibukan mengurus dunia seringkali melalaikan seorang hamba dari ibadah kepada Rabbnya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengingatkan Abdullah bin Umar pada suatu hari, agar ia menempatkan dirinya di dunia ini seperti seseorang yang berada di tempat asing atau seorang penyeberang jalan, tak akan ia berlama-lama dan akan senantiasa waspada.
Namun satu hal yang perlu kita fahami adalah bahwa sikap zuhud ini bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia seluruhnya. Begitu pula seseorang yang bersikap zuhud tidak diharuskan untuk menjadi orang miskin yang memisahkan diri dari kehidupan dan pergaulan di sekitarnya.
Kita dapat melihat pada kehidupan Nabiyullah Daud dan Sulaiman ‘Alaihimassalaam. Mereka berdua termasuk di antara hamba Allah yang paling zuhud, namun keduanya memiliki harta berlimpah dan kerajaan luas. Begitu juga kehidupan para shahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan lainnya, yang di tengah kekayaan berlimpah mereka tetap hidup sederhana.
Maka itulah zuhud, tidak semua bagian dari dunia ini tercela adanya. Rasa cinta kepada pasangan hidup dan harta merupakan bagian dari fitrah yang Allah Ta’ala turunkan ke dalam hati manusia. Adapun yang tercela dalam kehidupan dunia adalah segala sesuatu yang memalingkan seorang hamba dari akhirat atau menjerumuskannya dalam kemaksiatan.
Pesan kedua, bersikap zuhud dengan tidak tergiur melihat kepunyaan orang lain. Adalah sesuatu yang wajar, bahwa ketika dunia ini merupakan sesuatu yang berharga dan menggiurkan bagi umat manusia, maka siapa saja yang hendak merebutnya dari mereka akan menjadi musuh yang dibenci.
Begitu pula sebaliknya, siapa saja yang tidak pernah mengganggu urusan duniawi mereka akan dianggap sebagai teman yang disukai.
Maka ketika kita tidak mencampuri atau meminta-minta harta dunia seseorang, hal ini akan menumbuhkan cinta di hati mereka. Bahkan tidak jarang mereka akan menaruh rasa hormat yang tinggi kepada kita.
Seperti pada zaman Imam Hasan Al Bashri, saat itu seseorang bertanya kepada penduduk kota Bashrah, “Siapakah orang yang terhormat di antara kalian?” mereka menjawab, “Hasan Al Bashri...” ia bertanya lagi, “Apa yang membuat kalian begitu menghormatinya?” mereka menjawab, “Karena kami membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tak pernah membutuhkan harta kami”.
Imam Hasan Al Bashri pernah berpesan, “Kemuliaan seseorang di tengah kaumnya akan tetap terjaga selama ia tidak tergiur dan menginginkan harta mereka. Saat ia mulai tergiur dan menginginkan harta mereka, jatuhlah kedudukannya dan tak akan lagi mereka mau hidup di dekatnya”.
Maka hendaklah kita benar-benar menjaga harga diri kita dan tidak bergantung pada pemberian orang lain. Karena siapa saja yang bergantung pada pemberian orang lain, ia hanya akan dipandang sebagai beban yang memberatkan. Sementara siapa saja yang menjaga harga dirinya dengan tidak meminta-minta, niscaya ia akan dihormati.
Dan sekali lagi, mari kita simak nasihat Imam Hasan Al Bashri, “Kemuliaan seorang mu’min adalah shalat malamnya, dan kehormatannya adalah dengan tidak mengharap pemberian orang lain”.
Namun begitulah, kecintaan manusia kepada kita bukanlah segalanya. Hal itu tidak lebih dari sekedar sarana yang memudahkan dakwah dan ibadah, serta agar kita dapat menjalani kehidupan ini dengan tentram.
Dan satu hal yang penting untuk kita fahami adalah bahwa Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, akan murka dikala kita tak lagi meminta kepada-Nya dan merasa cukup dengan kemampuan kita. Maka mintalah segala yang kita butuhkan hanya kepada-Nya. Sementara umat manusia akan merasa amat terganggu kala kita selalu menadahkan tangan mengharap belas kasihannya. Maka janganlah kita gantungkan harapan kepada makhluk yang lemah.
Mutiara Hadits
Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai pemenuh fikirannya, akan Allah cerai-beraikan urusannya, lalu Allah jadikan kemiskinan di depan matanya. Dan ia tak akan memperoleh kekayaan dunia, kecuali sebatas apa yang telah menjadi bagiannya. Namun siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, Allah satu-padukan segala urusannya, lalu Allah jadikan kekayaan di dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya dengan merangkak” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Nasihat salaf
“Sekalipun seluruh kekayaan dunia hingga ke ujung-ujungnya dikumpalkan untukku, dan semuanya dihalakan untuk kunikmati tanpa harus aku pertanggung jawabkan di akhirat sedikitpun, tetap saja ia menjijikkan bagiku. Laksana seseorang dari kalian yang melewati seonggok bangkai, dan tak mau ujung pakaiannya terkena bangkai itu”. Fudhail bin ‘Iyadh
Post A Comment:
0 comments: