Tamu itu dipersilahkan memasuki ruang tamu yang berukuran sekitar 4 meter persegi. Ruangan itu sepertinya sudah disiapkan untuk tamu yang hendak berkunjung ke kediamannya. Lima buah gelas dan satu buah teko berisi kopi dihidangkan di tengah ruangan itu. Sebelum memulai percakapan, dosen dengan nada ramah memepersilahkan para tamu untuk mencicipi kopi khas arab, " silahkan diminum, ini memang sengaja saya hidangkan untuk kalian. Tetapi, saya tuangkan sedikit dulu saja, karena ini rasanya pahit."ujar beliau sambil menuangkan kopi.
Berbeda dengan kebanyakan kopi di Indonesia, kopi yang dihidangkannya berwarna cream. Sama-sama kopi, bedanya hanya pada bagaimana pengolahannya. Kebanyakan kopi di Indonesia diolah hingga berwarna kehitaman, sedangkan di Arab dihentikan ketika warnanya agak kecoklatan.
Setelah menghabiskan kopi dan beberapa kurma, beliau mempersilahkan tamunya memasuki ruangan yang lebih privasi. Berbeda dengan ruangan sebelumnya yang dihiasi pernak-pernik arab dengan kursi duduk lesehan dengan nuansa Arab, kali ini beliau membawa tamunya ke ruangan yang lebih nyaman untuk berbincang.
Beliau bernama Muhammad bin Ahmad bin Ismail Hakami. Beliau adalah dosen baru di STIBA Ar-Raayah. Tak jauh berbeda dari kebanyakan dosen yang didatangkan dari luar negeri, beliau berasal dari Saudi Arabia, tepatnya di kabilah Hakami.
Beliau menamatkan pendidikannya di Muhammad bin Saud University dengan 'takhossus' ilmu syariah. Setelah menuntaskan pendidikannya, beliau mengabdikan dirinya sebagai pengajar di beberapa negara besar, dan beliau juga sempat menjadi kepala madrasah.
Tawa dan canda menghiasi pembicaraan malam itu. Lagi-lagi kopi menjadi teman bincang santai diruangan yang berbeda. Beliau kembali menawarkan makanan khas Indonesia yang ternyata sudah disiapkan untuk tamu yang kedatangannya bukan lagi menjadi rahasia. Dua piring pisang goreng hangat dibalut dengan tepung berlumur keju sangat serasi dengan rintik di kegelapan gerimis malam. Malam itu adalah milik kami, bukan katak yang sedang bernyanyi berusaha mengganggu malam itu. "saya sudah terbiasa makan makanan Indonesia, enak." Ujar beliau.
Kedatangannya di Indonesia ternyata bukan kali pertama. "Saat saya di Puncak, Bogor, saya beli dua pulun ribu rupiah hanya dapat empat roti, kalo di tempat saya itu sudah dapat satu toples." Lanjut beliau sambal menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Indonesia saat itu.
Bukan suatu yang mudah menurut beliau untuk bisa mengajar di STIBA Ar-Raayah. Kedatangan beliau ke Indonesia melalui seleksi ketat yang sangat sulit. Ujian yang diadakan pun dari Kerjaaan Saudi Arabia harus melalui beberapa tahap dan tingkatan; dari tingkat daerah hingga tingkat nasional.
Harapan beliau pun ingin menghabiskan masa mengajarnya di STIBA Ar-Raayah selama empat tahun. Karena, semua pengajar yang terpilih pada program kerjaaan IFAAD (pemilihan dan pengiriman pengajar dari Saudi Arabia) harus pulang ke negara asal. Baik pulang dari Indonesia, maupun dari negara lain.
Sebelum mengakhiri percakapan malam itu, dosen yang kerap di panggil Syeikh Hakami ini mengaku beruntung bisa mengajar di STIBA Ar-Raayah. Beliau juga merasa terkejut dengan lingkungan STIBA Ar-Raayah yang memiliki sistem pendidikan yang luar biasa. "Saya sangat terkejut dengan mahasiswa STIBA Ar-Raayah. Kebanyakan dari mereka bukan berasal dari daerah yang dekat. jikalau bukan karena ilmu, tidak mungkin mereka datang kesini, merelakan berpergian sampai berhari-hari lamanya. Selain itu, saya juga sangat takjub dengan STIBA Ar-Raayah, maksudnya lingkungan belajarnya. Bagaimana cara tempat ini mengajarkan mereka cara belajar yang baik." ungkap beliau.
Oleh: Dzaky Amrullah
Post A Comment:
0 comments: